Kamis, 20 Februari 2014

Hakikat dan Dasar Pendidikan Agama Buddha, Tujuan Hidup dan Tujuan Pendidikan Agama Buddha



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.        Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berpikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini, manusia sebagai mahluk yang memiliki suatu bentuk akal pada diri  yang tidak dimiliki mahluk yang lain dalam kehidupannya, dengan demikian untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran. Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam konteks pendidikan formal Agama Buddha, pendidikan dapat diartikan juga sebagai suatu hal  yang dilatih untuk menghasilkan kebiasaan-kebiasaan baik yang dilakukan oleh peserta didik yang sesuai dengan ajaran Agama Buddha. Dengan melaksanakan pendidikan sudah pasti memiliki tujuan, baik itu tujuan dalam menjalankan hidup maupun tujuan dari Pendidikan Agama Buddha itu sendiri.
1.2.        Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka terdapat rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana hakikat dan dasar Pendidikan Agama Buddha?
2.    Apakah tujuan hidup dan tujuan Pendidikan Agama Buddha?
1.3.        Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Agama Buddha yang diampu oleh tim dosen Kustiani, S.Ag., M.A., Ph.D dan Sukiman, S.Ag., M.Pd.B. dan tujuan lainnya dari penulisan makalah ini adalah:
1.    Menjelaskan hakikat dan dasar Pendidikan Agama Buddha.
2.    Menjelaskan tujuan hidup dan tujuan Pendidikan Agama Buddha.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.        Hakikat dan Dasar Pendidikan Agama Buddha
Pendidikan mempunyai arti proses pengubahan sikap atau tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dalam arti singkat adalah proses atau cara dalam mendidik. Sedangkan kata “buddhis” menurut KBBI artinya penganut buddhisme (ajaran Buddha Gautama). Jadi pendidikan buddhis dapat diartikan sebagai suatu proses atau cara mendidik yang berlandaskan pemahaman terhadap ajaran Buddha. Selanjutnya, dalam tulisan ini pengertian pendidikan buddhis mengacu pada arti tersebut.
Pendidikan Agama adalah salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari di sekolah formal yang bertujuan agar membuat peserta didik selain berkembang ilmu pengetahuannya sekaligus berkembang pula spiritualnya. Konsep pendidikan dalam Agama Buddha meliputi tiga tahap, ketiga tahapan tersebut yaitu:
a.    Pariyatti
Pariyatti adalah proses belajar siswa yang menghasilkan pengertian
 b.    Patipati
Patipati adalah praktek yang dilakukan setelah siswa memperoleh pengertian dari belajar
c.    Pativedha
Pativedha adalah tujuan atau hasil akhir yang dicapai setelah siswa memiliki pengertian dan melaksanakan praktek dari ajaran itu sendiri.
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa mempelajari sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh siswa berupa keadaan alam, benda-benda atau hal-hal yang dijadikan bahan belajar. Tindakan belajar dari suatu hal tersebut nampak sebagai perilaku belajar yang nampak dari luar.
2.2.        Tujuan Hidup dan Tujuan Pendidikan Agama Buddha
2.2.1.          Tujuan Hidup
Setelah kita dapat mengerti atau memahami apa arti Buddha Dhamma, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tadi, maka kita sudah dapat mengetahui bahwa tujuan hidup umat Buddha adalah tercapainya suatu kebahagiaan, baik kebahagiaan yang masih bersifat keduniawian (yang masih berkondisi) yang hanya bisa menjadi tujuan sementara saja; maupun kebahagiaan yang sudah bersifat mengatasi keduniaan (yang sudah tidak berkondisi) yang memang merupakan tujuan akhir, dan merupakan sasaran utama dalam belajar Buddha Dhamma.
Banyak orang yang masih memiliki salah pengertian mengatakan bahwa Agama Buddha (Buddha Dhamma) hanya menaruh perhatian kepada cita-cita yang luhur, moral tinggi, dan pikiran yang mengandung filsafat tinggi saja dengan mengabaikan kesejahteraan kehidupan duniawi dari umat manusia. Akan tetapi Sang Buddha di dalam ajaran-Nya, juga memberikan perhatian besar terhadap kesejahteraan kehidupan duniawi dari umat manusia, yang merupakan kebahagiaan yang masih berkondisi. Memang, walaupun kesejahteraan kehidupan duniawi bukanlah merupakan tujuan akhir dalam Agama Buddha, tetapi hal itu bisa juga merupakan salah satu kondisi (sarana / syarat) untuk tercapainya tujuan yang lebih tinggi dan luhur, yang merupakan kebahagiaan yang tidak berkondisi, yaitu terealisasinya Nibbana.
Sang Buddha tidak pernah mengatakan bahwa kesuksesan dalam kehidupan duniawi adalah merupakan suatu penghalang bagi tercapainya kebahagiaan akhir yang mengatasi keduniaan. Sesungguhnya yg menghalangi perealisasian Nibbana, bukanlah kesuksesan atau kesejahteraan kehidupan duniawi tersebut, tetapi kehausan dan keterikatan batin kepadanya itulah, yang merupakan halangan untuk terealisasinya Nibbana.
Di dalam Vyagghapajja sutta, seorang yang bernama Dighajanu, salah seorang suku Koliya, datang menghadap Sang Buddha. Setelah memberi hormat, lalu ia duduk di samping Beliau dan kemudian berkata:
“Bhante, kami adalah upasaka yang masih menyenangi kehidupan duniawi, hidup berkeluarga, mempunyai isteri dan anak. Kepada mereka yang seperti kami ini, Bhante, ajarkanlah suatu ajaran (Dhamma) yang berguna untuk mendapatkan kebahagiaan duniawi dalam kehidupan sekarang ini, dan juga kebahagiaan yang akan datang.”

Menjawab pertanyaan ini, Sang Buddha bersabda bahwa ada empat hal yang berguna yang akan dapat menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi sekarang ini, yaitu:
1.     Utthanasampada: rajin dan bersemangat dalam mengerjakan apa saja, harus terampil dan produktif; mengerti dengan baik dan benar terhadap pekerjaannya, serta mampu mengelola pekerjaannya secara tuntas.
2.     Arakkhasampada: ia harus pandai menjaga penghasilannya, yang diperolehnya dengan cara halal, yang merupakan jerih payahnya sendiri.
3.     Kalyanamitta: mencari pergaulan yang baik, memiliki sahabat yang baik, yang terpelajar, bermoral, yang dapat membantunya ke jalan yang benar, yaitu yang jauh dari kejahatan.
4.     Samajivikata: harus dapat hidup sesuai dengan batas-batas kemampuannya. Artinya bisa menempuh cara hidup yang sesuai dan seimbang dengan penghasilan yang diperolehnya, tidak boros, tetapi juga tidak pelit / kikir.
Keempat hal tersebut adalah merupakan persyaratan (kondisi) yang dapat menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi sekarang ini, sedangkan untuk dapat mencapai dan merealisasi kebahagiaan yang akan datang, yaitu kebahagiaan dapat terlahir di alam-alam yang menyenangkan dan kebahagiaan terbebas dari yang berkondisi, ada empat persyaratan pula yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:
1.      Saddhasampada: harus mempunyai keyakinan, yaitu keyakinan terhadap nilai-nilai luhur. Keyakinan ini harus berdasarkan pengertian, sehingga dengan demikian diharapkan untuk menyelidiki, menguji dan mempraktikkan apa yang dia yakini tersebut. Di dalam Samyutta Nikaya V, Sang Buddha menyatakan demikian:
“Seseorang … yang memiliki pengertian, mendasarkan keyakinannya sesuai dengan pengertian.”

Saddha (keyakinan) sangat penting untuk membantu seseorang dalam melaksanakan ajaran dari apa yang dihayatinya; juga berdasarkan keyakinan ini, maka tekadnya akan muncul dan berkembang. Kekuatan tekad tersebut akan mengembangkan semangat dan usaha untuk mencapai tujuan.
2.      Silasampada: harus melaksanakan latihan kemoralan, yaitu menghindari perbuatan membunuh, mencuri, asusila, ucapan yang tidak benar, dan menghindari makanan/minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran (hilangnya pengendalian diri). Sila bukan merupakan suatu peraturan larangan, tetapi merupakan ajaran kemoralan yang bertujuan agar umat Buddha menyadari adanya akibat baik dari hasil pelaksanaannya, dan akibat buruk bila tidak melaksanakannya. Dengan demikian, berarti dalam hal ini, seseorang bertanggung jawab penuh terhadap setiap perbuatannya. Pelaksanaan sila berhubungan erat dengan melatih perbuatan melalui ucapan dan badan jasmani. Sila ini dapat diintisarikan menjadi ‘hiri’ (malu berbuat jahat/salah) dan ‘ottappa’ (takut akan akibat
perbuatan jahat / salah). Bagi seseorang yang melaksanakan sila, berarti ia telah membuat dirinya maupun orang lain merasa aman, tentram, dan damai. Keadaan aman, tenteram dan damai merupakan kondisi yang tepat untuk membina, mengembangkan & meningkatkan kemajuan serta kesejahteraan masyarakat dalam rangka tercapainya tujuan akhir, yaitu terealisasinya Nibbana.
3.      Cagasampada: murah hati, memiliki sifat kedermawanan, kasih sayang, yang dinyatakan dalam bentuk menolong mahluk lain, tanpa ada perasaan bermusuhan atau iri hati, dengan tujuan agar mahluk lain dapat hidup tenang, damai, dan bahagia. Untuk mengembangkan caga dalam batin, seseorang harus sering melatih mengembangkan kasih sayang dengan menyatakan dalam batinnya (merenungkan) sebagai berikut:
“Semoga semua mahluk berbahagia, bebas dari penderitaan, kebencian, kesakitan, dan kesukaran. Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka sendiri.”
4.      Panna: harus melatih mengembangkan kebijaksanaan, yang akan membawa ke arah terhentinya dukkha (Nibbana). Kebijaksanaan di sini artinya dapat memahami timbul dan padamnya segala sesuatu yang berkondisi; atau pandangan terang yang bersih dan benar terhadap segala sesuatu yang berkondisi, yang membawa ke arah terhentinya penderitaan. Panna muncul bukan hanya didasarkan pada teori, tetapi yang paling penting adalah dari pengalaman dan penghayatan ajaran Buddha. Panna berkaitan erat dengan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak perlu dilakukan. Singkatnya ia mengetahui dan mengerti tentang: masalah yang dihadapi, timbulnya penyebab masalah itu, masalah itu dapat dipadamkan / diatasi dan cara atau metode untuk memadamkan penyebab masalah itu. Itulah uraian dari Vyagghapajja sutta yang ada hubungannya dengan kesuksesan dalam kehidupan duniawi yang berkenaan dengan tujuan hidup umat Buddha.
Sutta lain yang juga membahas tentang kesuksesan dalam kehidupan duniawi ini, bisa kita lihat pula dalam Anguttara Nikaya II 65, di mana Sang Buddha menyatakan beberapa keinginan yang wajar dari manusia biasa (yang hidup berumah tangga), yaitu:
1.    Semoga saya menjadi kaya, dan kekayaan itu terkumpul dengan cara yang benar dan pantas.
2.    Semoga saya beserta keluarga dan kawan-kawan, dapat mencapai kedudukan sosial yang tinggi.
3.    Semoga saya selalu berhati-hati di dalam kehidupan ini, sehingga saya dapat berusia panjang.
4.    Apabila kehidupan dalam dunia ini telah berakhir, semoga saya dapat terlahirkan kembali di alam kebahagiaan (surga).
Keempat keinginan wajar ini, merupakan tujuan hidup manusia yang masih diliputi oleh kehidupan duniawi; dan bagaimana caranya agar keinginan-keinginan ini dapat dicapai, penjelasannya adalah sama dengan uraian yang dijelaskan di dalam Vyagghapajja sutta tadi.
Jadi, jelaslah sekarang bahwa Sang Buddha di dalam ajaran Beliau, sama sekali tidak menentang terhadap kemajuan atau kesuksesan dalam kehidupan duniawi. Dari semua uraian di atas tadi, bisa kita ketahui bahwa Sang Buddha juga memperhatikan kesejahteraan dalam kehidupan duniawi; tetapi memang, Beliau tidak memandang kemajuan duniawi sebagai sesuatu yang benar, kalau hal tersebut hanya didasarkan pada kemajuan materi semata, dengan mengabaikan dasar-dasar moral dan spiritual;
Sebab seperti yang dijelaskan tadi, yaitu bahwa tujuan hidup umat Buddha, bukan hanya mencapai kebahagiaan di dalam kehidupan duniawi (kebahagiaan yang masih berkondisi saja), tetapi juga bisa merealisasi kebahagiaan yang tidak berkondisi, yaitu terbebas total dari dukkha, terealisasinya Nibbana. Maka meskipun menganjurkan kemajuan material dalam rangka kesejahteraan dalam kehidupan duniawi, Sang Buddha juga selalu menekankan pentingnya perkembangan watak, moral, dan spiritual, untuk menghasilkan suatu masyarakat yang bahagia, aman, dan sejahtera secara lahir maupun batin; dalam rangka tercapainya tujuan akhir, yaitu terbebas dari dukkha atau terealisasinya Nibbana
2.2.2.          Tujuan pendidikan Agama Buddha
Tujuan umum pendidikan tidak berbeda dengan tujuan pembabaran agama sebagaimana diamanatkan Buddha kepada 60 arahat, dengan mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan orang banyak (Mukti, 2003 : 305). Pendidikan Agama Buddha berfungsi menanamkan nilai-nilai moral spiritual kepada peserta didik yang beragama Buddha, dengan tujuan menghentikan kejahatan dan menolong terbebasnya dari penderitaan. Penanaman nilai-nilai moral yang berdasarkan ajaran Buddha di sekolah ini, diharapkan memberikan pengetahuan tentang agama Buddha sehingga membentuk perilaku peserta didik yang tidak hanya cerdas namun juga bermoral (sila),  dan berkeyakinan (saddha) terhadap Tiratana dan  Tuhan Yang Maha Esa. Input dan output dari pendidikan Agama Buddha diharapkan dapat mendukung tercapainya tujuan, visi, dan misi pendidikan Nasional.
Visi pendidikan nasional yaitu terwujudnya individu manusia baru yang memiliki sikap dan wawasan keimanan dan akhlak tinggi, kemnerdekaan, dan demokrasi, toleransi, dan menjunjung hak asasi manusia, saling pengertian dan wawasan global. Misi pendidikan nasional yaitu menuju masyarakat madani. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yaitu :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Belajar tidak hanya untuk mengetahui dan mengingat, tetapi juga melaksanakan dan mencapai penembusan. Meskipun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai dengan ajaran, orang yang lengah itu sama seperti gembala yang menghitung sapi milik orang lain, ia tidak akan memperoleh manfaat kehidupan suci. (Dhp.19). Pengetahuan saja tidak akan membuat orang terbebas dari penderitaan, tetapi ia juga harus melaksanakannya (Sn.789).
Tujuan umum pendidikan tak berbeda dengan tujuan pembabaran agama sebagaimana yang diamanatkan oleh Buddha kepada enam puluh orang arahat. Mereka mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan bagi orang banyak (Vin.I,21). Karena mendatangkan kebaikan ini, memiliki pengetahuan dan ketrampilan merupakan berkah utama (Sn II, 4).
Pendidikan agama jelas menolong untuk menghentikan segala ben­­tuk ke­jahatan. “Aku telah ber­henti. Engkau pun berhenti­lah,” seru Buddha kepada Angulimala (M. II. 99). ”Melihat kejahatan sebagai kejahatan, inilah ajaran Dharma yang pertama. Setelah me­lihat ke­jahatan sebagai kejahatan, jauhilah itu, singkirkan itu hingga bersih, bebaskan diri dari hal itu, inilah ajaran Dharma yang ke­dua” (It. 33). 
Idealnya, pendidikan adalah prinsip sarana bagi pertumbuhan manusia, penting untuk tranformasi kematangan peserta didik menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab.



Pendidikan Agama Buddha terselenggara, dan dalam konteks pendidikan formal Agama Buddha di Indonesia ada beberapa ruang lingkup yang menjadi pokok pembelajaran yaitu:
a.    Sejarah
b.    Keyakinan (Saddha)
c.    Perilaku /Moralitas (Sila)
d.    Kitab Suci Agama Buddha (Tipitaka)
e.    Meditasi (Samadhi)
f.     Kebijaksanaan (Panna)


BAB III
SIMPULAN
3.1.        Simpulan
Dari pembahasan materi di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan hidup dalam agama Buddha adalah menekankan pentingnya perkembangan watak, moral, dan spiritual, untuk menghasilkan suatu masyarakat yang bahagia, tentram, dan sejahtera secara lahir maupun batin dengan melaksanakan jalan mulia berunsur delapan; dalam rangka tercapainya tujuan akhir, yaitu terbebas dari dukkha atau terealisasinya Nibbana
Sedangkan Konsep pendidikan dalam Agama Buddha meliputi tiga tahap yaitu pariyatti, patipati, dan pativedha. Pendidikan Agama Buddha berfungsi menanamkan nilai-nilai moral spiritual kepada peserta didik yang beragama Buddha, dengan tujuan menghentikan kejahatan dan menolong terbebasnya dari penderitaan. Penanaman nilai-nilai moral yang berdasarkan ajaran Buddha di sekolah ini, diharapkan memberikan pengetahuan tentang agama Buddha sehingga membentuk perilaku peserta didik yang tidak hanya cerdas namun juga bermoral (sila),  dan berkeyakinan (saddha) terhadap Tiratana dan  Tuhan Yang Maha Esa.



DAFTAR PUSTAKA
Anguttara-nikaya-The Book of Gradual Sayings. Diterjemahkan oleh F.L.Woodward dan E.M. Hare. London: PTS, 1978
http://surganimmanarati.blogspot.com/2013/01/nilai-pendidikan-agama-buddha-mahathera.html
Itivuttaka, The Minor Anthologies of the Pali Canon.Diterjemahkan oleh F.L. Woodward.London: Oxford University Press, 1948.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Mukti, Krishnanda Wijaya. 2003. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan & Ekayana Buddhist Centre.
Samyutta Nikaya-The Book of the Kindred Sayings. Diterjemahkan oleh C. A. F. Rhys Davids dan F.L.Woodward.London:PTS, 1982.
Sutta-Nipata. Diterjemahkan oleh Lanny Anggawati dan Wena Cintiawati. Klaten: Wihara Bodhivamsa, 1999.
Undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003

2 komentar: