PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan
memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan hidup manusia. Pendidikan
berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik demi
mencapai tujuan pendidikan. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang
diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah
yang menjadi tujuan pendidikan, siapakah pendidik dan terdidik, apa isi
pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial,
yakni jawaban-jawaban filosofis.
Dalam proses
pendidikan, aliran konstruktivisme menghendaki agar anak didik dapat
menggunakan kemampuannya secara konstruktif untuk menyesuaikan diri dengan
tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Anak didik harus aktif mengembangkan
pengetahuan, bukan hanya menunggu arahan dan petunjuk dari guru atau sesama
siswa. Kreativitas dan keaktifan siswa membantu untuk berdiri sendiri dalam
kehidupan, aliran ini mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif.
Sedangkan
penerapan dalam proses belajar mengajar aliran konstruktivisme memberikan
keleluasaan pada siswa untuk aktif membangun kebermaknaan sesuai dengan
pemahaman yang telah mereka miliki, memerlukan serangkaian kesadaran akan makna
bahwa pengetahuan tidak bersifat obyektif atau stabil, tetapi bersifat temporer
atau selalu berkembang tergantung pada persepsi subyektif individu dan individu
yang berpengetahuan menginterpretasikan serta mengkonstruksi suatu realisasi
berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan berguna
jika mampu memecahkan persoalan yang ada.
Berdasarkan
uraian di atas, melalui makalah ini penulis merumuskan masalah mengenai apa
yang dimaksud dengan konstruktivisme dan bagaimana pembelajaran menurut
konstruktivisme. Hal tersebut sangat perlu dibahas karena bertujuan agar kita
mengetahui apa yang dimaksud dengan konstruktivisme dan bagaimana pembelajaran
menurut konstruktivisme. Dengan pemahaman yang cukup mengenai hal tersebut di
atas, maka setiap individu akan mendapatkan hasil pembelajaran yang optimal.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang perkembangan
aliran filsafat konstruktivime dalam pendidikan?
2. Bagaimana hakikat pendidikan, tujuan
umum pendidikan, hakikat guru, hakikat siswa, dan hakikat pembelajaran menurut
aliran filsafat konstruktivisme?
3. Bagaimana implikasi aliran filsafat
konstruktivisme dalam praksis pendidikan?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk memahami latar belakang
perkembangan aliran filsafat konstruktivisme dalam pendidikan.
2. Untuk memahami hakikat pendidikan,
tujuan umum pendidikan, hakikat guru, hakikat siswa, dan hakikat pembelajaran
menurut aliran filsafat konstruktivisme.
3. Mengetahui implikasi aliran filsafat
konstruktivisme dalam praksis pendidikan.
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Aliran Filsafat Konstruktivisme
1. Pengertian Filsafat Pendidikan
Filsafat
adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara
kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan
melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi
dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika.
Filsafat
pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971).
Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya
menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi
masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak
dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat
dijangkau oleh sains pendidikan.
2. Pengertian Filsafat Konstruktivisme
Konstruktivisme
berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat membina,
memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia berarti
paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von
Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001: 3). Pandangan konstruktivis dalam
pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan
strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang
membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin dalam Yusuf,
2003). Tran Vui juga mengatakan bahwa teori konstruktivisme adalah sebuah teori
yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari
kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya
tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain. Sedangkan menurut Martin. Et. Al
(dalam Gerson Ratumanan, 2002) mengemukakan bahwa konstruktivisme menekankan
pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan
saling mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan belajar baru.
Konstruktivisme merupakan paradigma alternatif yang muncul sebagai dampak dari
revolusi ilmiah yang teradi dalam beberapa dasawarsa terakhir (Kuhn dalam
Pannen dkk. 2000: 1). Pendekatan konstruktivisme menjadi landasan terhadap
berbagai seruan dan kecenderungan yang muncul dalam dunia pembelajaran, seperti
perlunya siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, perlunya siswa
mengembangkan kemampuan belajar mandiri, perlunya siswa memiliki kemampuan
untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri, serta perlunya pengajar berperan
menjadi fasilitator, mediator dan manajer dari proses pembelajaran.
Konstruktivisme
adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa
pengetahuan itu merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar.
Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta-fakta tetapi merupakan konstruksi kognitif
seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan
bukanlah “sesuatu yang sudah ada di sana” dan kita tinggal mengambilnya, tetapi
merupakan suatu bentukan terus menerus dari orang yang belajar dengan setiap
kali mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru (Piaget, 1971).
3. Gagasan Pokok Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok
aliran ini diawali oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia. Dialah
cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima
Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan
bahwa “mengetahui” berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Bagi Vico
pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya
dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk
kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan
teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan
hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan
konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat
tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
Untuk menjawab
bagaimana kita dapat memperoleh pengetahuan? Kaum konstruktivis menyatakan
bahwa kita dapat mengetahui sesuatu melalui indera kita. Dengan berinteraksi
terhadap obyek dan lingkungannya melalui proses melihat, mendengar, menjamah,
membau, merasakan dan lain-lainnya orang dapat mengetahui sesuatu. Misalnya,
dengan mengamati pasir, bermain dengan pasir, seorang anak membentuk
pengetahuannya akan pasir. Bagi kaum konstruktivis, pengetahuan itu bukanlah
suatu yang sudah pasti, tetapi merupakan suatu proses menjadi. Misalnya,
pengetahuan kita akan “anjing” mulai dibentuk sejak kita masih kecil bertemu
dengan anjing. Pengetahuan itu makin lengkap, disaat kita makin banyak
berinteraksi dengan anjing yang bermacam-macam.
B.
Konsep Dasar Aliran Filsafat Konstruktivisme Tentang Pendidikan
1. Hakikat Pendidikan Menurut Aliran
Filsafat Konstruktivisme
Teori
konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa
untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan
pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu proses pembelajaran harus
dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa untuk
mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna.
Teori ini
mencerminkan siswa memiliki kebebasan berpikir yang bersifat eklektik, artinya
siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apapun asal tujuan belajar dapat
tercapai.
2. Tujuan Umum Pendidikan Menurut Aliran
Filsafat Konstruktivisme
Menurut paham
konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu
mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain
melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki
seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan
berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Tujuan filsafat pendidikan
memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang
ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan
prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik
pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa
implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna
mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan.
Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan
pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan
mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan
dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu
menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni
mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau
miskonsepsi pada diri peserta didik.
3. Hakikat Guru Menurut Aliran Filsafat
Konstruktivisme
Dalam
pembelajaran konstruktivis menurut Suparno (1997:16) menyatakan bahwa peran
guru atau pendidik dalam aliran konstruktivisme ini adalah sebagai fasilitator
dan mediator yang tugasnya memotivasi dan membantu siswa untuk mau belajar
sendiri dan merumuskan pengetahuannya. Selain itu guru juga berkewajiban untuk
mengevaluasi gagasan-gagasan siswa itu, sesuaikah dengan gagasan para ahli atau
tidak.
Menurut
prinsip konstruktivis, seorang guru punya peran sebagai mediator dan fasilitator
yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Maka tekanan
diletakkan pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin ataupun guru yang
mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam
beberapa tugas antara lain sebagai berikut:
a.
Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan siswa ikut bertanggung jawab dalam membuat
design, proses, dan penelitian. Maka jelas memberi pelajaran atau model ceramah
bukanlah tugas utama seorang guru.
b.
Guru
menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingin-tahuan
siswa, membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan mereka dan
mengkomunikasikan ide ilmiahnya (Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana
yang merangsang berpikir siswa secara produktif dan mendukung pengalaman
belajar siswa.
c. Memonitor, mengevaluasi dan
menunjukkan apakah pemikiran siswa itu jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan
mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan
baru yang berkaitan. Guru membantu dalam mengevaluasi hipotesa dan kesimpulan
siswa. Disini guru perlu mengerti mereka sudah pada taraf mana?
Guru
perlu belajar mengerti cara berpikir siswa, sehingga dapat membantu
memodifikasikannya. Baik dilihat bagaimana jalan berpikir mereka itu terhadap
persoalan yang ada. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban
itu. Ini cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan
untuk menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak jalan untuk keadaan tertentu (Von
Glasersfeld, 1989).
d. Dalam sistem konstruktivis guru
dituntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru perlu mempunyai
pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan dari bahan yang mau diajarkan.
Pengetahuan yang luas dan mendalam akan memungkinkan seorang guru menerima
pandangan dan gagasan siswa yang berbeda dan juga memungkinkan untuk
menunjukkan apakah gagasan siswa itu jalan atau tidak. Penguasaan bahan
memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai
kepada suatu pemecahan persoalan, dan tidak terpaku kepada satu model.
Tanggung jawab seorang guru adalah
menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin untuk belajar secara
aktif dimana peran siswa bisa menciptakan, membangun, mendiskusikan/
membandingkan, bekerjasama, dan melakukan eksplorasi eksperimentasi (Setyosari,
Herianto, Effendi, Sukadi,1996). Tugas guru hanyalah mengamati atau
mengobservasi, menilai, dan menunjukkan hal-hal yang perlu dilakukan siswa.
4. Hakikat Murid Menurut Aliran Filsafat
Konstruktivisme
Para siswa
menciptakan atau membentuk pengetahuan mereka sendiri melalui tingkatan atau
interaksi dengan dunia. Siswa tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong
yang siap diisi. Dengan sikap pasrah siswa disiapkan untuk dijejali informasi
oleh gurunya. Atau siswa dikondisikan sedemikian rupa untuk menerima
pengetahuan dari gurunya. Siswa kini diposisikan sebagai mitra belajar guru.
Guru bukan satu-satunya pusat informasi dan yang paling tahu. Guru hanya salah
satu sumber belajar atau sumber informasi. Sedangkan sumber belajar yang lain
bisa teman sebaya, ratorium, televisi, koran dan internet.
Siswa
diberikan kebebasan untuk mencari arti sendiri dari apa yang mereka pelajari.
Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka
berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka dan siswa bertanggung jawab atas
hasil belajarnya. Mereka membawa pengertian yang lama dalam situasi belajar
yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya
dengan cara mencari makna, membandingkannya dengan apa yang telah ia ketahui
dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman yang baru.
5. Hakikat Pembelajaran Menurut Aliran
Filsafat Konstruktivisme
Menurut kaum
konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksikan arti
sebuah teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan
proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari
dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya
dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut:
a.
Belajar
berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka
lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh
pengertian yang telah ia punyai.
b.
Konstruksi
arti adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena
atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
c.
Belajar
bukanlah kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan
pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil
perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996),
suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran
seseorang.
d.
Proses
belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang
merangsang pemikiran lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium)
adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e.
Hasil
belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.
f.
Hasil
belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pelajar
konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan
yang dipelajari (Paul Suparno 2001:61).
C.
Aliran Filsafat Konstruktivisme Dalam Praksis Pendidikan
1. Implikasi konstruktivisme terhadap
proses pembelajaran
Ada sejumlah
implikasi yang relevan terhadap proses pembelajaran berdasarkan pemikiran
konstruktivisme personal dan sosial. Implikasi itu antara lain sebagai berikut:
a.
Kaum
konstruktivis personal berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui
konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan terhadap realitas yang
dihadapi dan bukan lewat akumulasi informasi. Implikasinya dalam proses
pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara langsung memberikan
informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik
berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan diperoleh
oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut.
Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah menyediakan objek
pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan
pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman hidup konkret
(nilai-nilai, tingkah laku, sikap) untuk dijadikan objek pemaknaan.
b. Kaum konstruktivis berpendapat bahwa
pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif yang
telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan
aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar
maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan
kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman
belajar yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir,
berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman yang disajikan tidak
boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama
seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang
batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan yang belum
diketahui sebagai zone of proximal development of knowledge.
Bagi
kaum konstruktivis, belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan. Proses
konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses
aktif, sedangkan mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa,
melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk
pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan bersikap kritis. Jadi
mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Penggunaan pendekatan
konstruktivisme dalam pembelajaran akan membawa implikasi sebagai berikut:
i.
Isi
Pembelajaran
Dalam pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan konstruktivisme, guru tidak dapat menentukan secara spesifik isi
atau bahan yang harus dipelajari oleh siswa, tetapi hanya sebatas memberikan
rambu-rambu bahan pembelajaran yang sifatnya umum. Proses penyajian dimulai
dari keseluruhan ke bagian-bagian, bukan sebaliknya. Mengingat aliran
konstruktivisme lebih mengutamakan pemahaman terhadap konsep-konsep besar, maka
konsep tersebut disajikan dalam konteksnya yang actual yang kadang-kadang
kompleks. Siswa perlu didorong agar ia tidak takut pada hal-hal yang komplek.
Siswa perlu memahami bahwa hal-hal yang kompleks akan memberikan tantangan
untuk diketahui dan dipahami.
ii.
b.
Tujuan Pembelajaran
Tugas guru dalam pembelajaran dengan
pendekatan konstruktivisme adalah membantu siswa untuk membangun pengetahuannya
sendiri melalui proses internalisasi, pembentukan kembali, dan transformasi
informasi yang telah diperolehnya menjadi pengetahuan baru. Transformasi
terjadi kalau ada pemahaman (understanding), sedangkan pemahaman terjadi
sebagai akibat terbentuknya struktur kognitif baru dalam pikiran siswa.
Pemahaman terjadi kalau terjadi proses akomodasi atau perubahan paradigma dalam
pikiran siswa. Berlandaskan teoritik, tujuan pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan konstruktivisme adalah membangun pemahaman. Pemahaman dinilai
penting, karena pemahaman akan memberikan makna kepada apa yang dipelajari.
Karena itu tekanan belajar bukanlah untuk memperoleh atau menemukan lebih
banyak, akan tetapi yang lebih penting adalah memberikan interpretasi melalui
skema atau struktur kognitif yang berbeda.
iii.
Strategi
Pembelajaran
Tugas guru adalah membantu agar siswa
mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasi konkrit, maka
strategi pembelajaran yang digunakan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan
situasi siswa. Guru tidak dapat memastikan strategi yang digunakan, yang dapat hanya
sebatas tawaran dan saran. Dalam hal ini teknik dan seni yang dimiliki guru
ditantang untuk mengoptimalkan pembelajaran. Pendekatan konstruktivisme
mementingkan pengembangan lingkungan belajar yang meningkatkan pembentukan
pengertian dari perspektif ganda, dan informasi yang efektif atau kontrol
eksternal yang teliti dari peristiwa-peristiwa siswa yang ketat, dihindari sama
sekali.
iv.
Penataan
Lingkungan Belajar
Penataan lingkungan belajar berdasar
pendekatan konstruktivistik diidentifikasikan dengan alternatif sebagai
berikut;
(1) menyediakan pengalaman belajar
melalui proses pembentukan pengetahuan dimana siswa ikut menentukan topik/sub
topik yang mereka sikapi, metode pembelajaran berikut strategi pembelajaran
yang dipergunakan, (2) menyediakan pengalaman belajar yang kaya akan
alternatif seperti peninjauan masalah dari berbagai segi, (3) mengintegrasikan
proses belajar dengan konteks yang nyata dan relevan dengan harapan siswa dapat
menerapkan pengetahuan yang didapat dalam hidup sehari-hari, (4) memberikan
kesempatan pada siswa untuk menentukan isi dan arah belajar mereka dengan
menempatkan guru sebagai konsultan, (5) peningkatan interaksi antara guru
dengan siswa dan antar siswa sendiri, (6) meningkatkan penggunaan berbagai
sumber belajar disamping komunikasi tertulis dan lisan, (7) meningkatkan
kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan mereka agar siswa mampu
menjelaskan mengapa/bagaimana mereka memecahkan masalah dengan cara tertentu.
v.
Hubungan
Guru-Siswa
Dalam aliran kostruktivisme, guru
bukanlah seseorang yang maha tahu dan siswa bukanlah yang belum tahu, karena
itu harus diberi tahu. Dalam proses belajar, siswa aktif mencari tahu dengan
membentuk pengetahuannya, sedangkan guru membantu agar pencarian itu berjalan
baik. Dalam banyak hal guru dan siswa bersama-sama membangun pengetahuan. Dalam
hal ini hubungan guru dan siswa lebih sebagai mitra yang bersamasama membangun
pengetahuan.
2. Implikasi Konstruktivisme Terhadap
Pendidik Dan Peserta Didik
a.
Pendidik
dalam proses pembelajaran harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif tingkat
tinggi seperti mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan, memprediksi
dan menyimpulkan, dll.
b.
Pendidik
merancang tugas yang mendorong peserta didik untuk mencari pemecahan masalah
secara individual dan kolektif sehingga meningkatkan kepercayaan diri yang
tinggi dalam mengembangkan pengetahuan dan rasa tanggungjawab pribadi.
c.
Dalam
proses pembelajaran, pendidik harus memberi peluang seluas-luasnya agar terjadi
proses dialogis antara sesama peserta didik, dan antara peserta didik dengan
pendidik, sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab bahwa pembentukan
pengetahuan adalah tanggungjawab bersama. Caranya dengan memberi
pertanyaan-pertanyaan, tugas-tugas yang terkait dengan topik tertentu, yang
harus dipecahkan, didalami secara individual ataupun kolektif, kemudian diskusi
kelompok, menulis, dialog dan presentasi di depan teman yang lain.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat
konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia
melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka.
Konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi
pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah
dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari
interaksi dengan lingkungannya.
Kaum
konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas
dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada
proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses
belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara
cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya
pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif
anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman
yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi
juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada
di ambang batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan yang
belum diketahui sebagai zone of proximal development of knowledge.
Bagi aliran
konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak
lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai
fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar
bukan bagaimana guru mengajar.
Gasong, Dina.
Tanpa tahun. Model Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai Alternative Mengatasi
Masalah Pembelajaran. dari http://www.images.dani7bd.multiply.com.
Hamzah,
2008. Teori Belajar Konstruktivisme.. Dari http://akhmadsudrajat.wordpress.com
Hidayat, Ayatollah. 2009. Kogntif Learning Theory. dari http://www.ayatollahhidayat.blogspot.com.
Hidayat, Ayatollah. 2009. Kogntif Learning Theory. dari http://www.ayatollahhidayat.blogspot.com.
Pranata, Y.
Mulyadi. Konstruktivistik: Arah Baru Pembelajaran Desain. Dari http://www.puslit.petra.ac.id.
Wicaksono,
Rohadi. 2007. Mengapa Harus Konstruktivistik.. dari http://www.rohadieducation.wordpress.com.
Suparno,
Paul. 2008. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar