Rabu, 14 Agustus 2013

Implementasi Teori Belajar dan Pembelajaran dalam Konteks Pendidikan Agama Buddha di Sekolah



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.        Latar Belakang
Belajar sebagai  karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain, merupakan aktivitas yang selalu dilakukan sepanjang hayat manusia, bahkan tiada hari tanpa belajar. Belajar merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatihan-pelatihan atau pengalaman-pengalaman. Salah satu ciri dari aktivitas belajar menurut para ahli pendidikan dan psikologi adalah adanya perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku itu biasanya berupa penguasaan terhadap ilmu pengetahuan yang baru dipelajarinya, atau penguasaan terhadap keterampilan dan perubahan yang berupa sikap. Untuk mendapatkan perubahan tingkah laku tersebut, maka diperlukan tenaga pengajar yang memadai. Pengajar atau disebut juga dengan pendidik sangat berperan penting dalam proses pembelajaran. Pendidik yang baik akan mampu membawa peserta didiknya menjadi lebih baik.
Dalam konteks pendidikan formal Agama Buddha, pembelajaran dapat diartikan juga sebagai suatu hal  yang dilatih untuk menghasilkan kabiasaan-kebiasaan baik yang dilakukan oleh peserta didik yang sesuai dengan ajaran Agama Buddha.
1.2.        Kendala-kendala
Berbicara tentang belajar dan pembelajaran Agama Buddha tidak terlepas dari kendala-kendala yang ada, di sini penulis mengklasifikasikan beberapa kendala yang terjadi pada pembelajaran pada pendidikan formal Agama Buddha di Indonesia sebagai berikut:
a.    Jumlah minoritas.
b.    Keterbatasan sumber daya .
c.    Jangkauan hingga ke pelosok.
d.    Kesadaran untuk mempelajari pendidikan Agama Buddha.
1.3.        Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper ini adalah tugas mata kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran yang diampu oleh tim dosen Drs. Dasikin, M.Pd dan Edi Ramawijaya, M.Pd. dan tujuan penulisan yang kedua adalah untuk mengetahui seberapa efektif implementasi teori belajar dan pembelajaran dalam konteks pendidikan Agama Buddha.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.        Teori Belajar dan Pembelajaran
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa mempelajari sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh siswa berupa keadan alam, benda-benda atau hal-hal yang dijadikan bahan belajar. Tindakan belajar dari suatu hal tersebut nampak sebagai perilaku belajar yang nampak dari luar.
Ada tiga kategori utama atau kerangka filosofis mengenai teori-teori belajar, yaitu: teori belajar behaviorisme,  teori belajar kognitivisme, dan teori belajar konstruktivisme.  Teori belajar behaviorisme hanya berfokus pada aspek objektif diamati pembelajaran. Teori kognitif melihat melampaui perilaku untuk menjelaskan pembelajaran berbasis otak. Dan pandangan konstruktivisme belajar sebagai sebuah proses di mana pelajar aktif membangun atau membangun ide-ide baru atau konsep.
Dibawah ini terdapat penjelasan dari beberapa teori belajar yang biasanya digunakan oleh para pendidik dalam kegiatan belajar mengajar di kelas yaitu;
1.        Teori Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin melemah .
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).



2.        Teori Kognitif
Pengertian belajar menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak  selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang.
Dalam kegiatan pembelajaran, keterlibatan siswa secara aktif amat dipentingkan. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru dengan steruktur kognitif yag telah dimilii siswa. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhan ke kompleks. Perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mepengaruhi keberhasilan siswa.

3.        Teori Konstruktivistik
Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan, mandiri, bertanggung jawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta mampu berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang mampu  melihat kaitan antara ciri-ciri manusia tersebut, dengan praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran untuk mewujudkannya. Pandangan konstruktivistik yang mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamnnya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah kepada tujuan tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri siswa.
Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu kunstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru konstrutivistik yang mengakui dan menghargai dorongan dari manusia atau siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktifitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara optimal.

4.    Teori Kecerdasan Majemuk
Menurut Howard Gardner yang telah menemukan teori kecerdasan majemuk atau Multiple Intelligences, bahwa ada banyak kecerdasan yang dimiliki setiap orang. Teori ini juga menekankan pentingnya “model” atau teladan yang sudah berhasil mengembangkan salah satu kecerdasan hingga puncak. Kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur kecerdasan yaitu:



a.    Kecerdasan bahasa
Kemampuan menggunakan bahasa baik lisan maupun tulisan. Contohnya menjadi pembaca berita, wartawan, pendongeng, pembicara dll.
b.    Kecerdasan matematika logika
Kemampuan mengolah angka dan menggunakan logika atau akal sehat dengan baik. Contohnya menjadi pengolah data, ahli matematika, peneliti, programmer dll.
c.    Kecerdasan visual spasial
Kemampuan mempersepsi dunia visual-spasial secara akurat. Contohnya menjadi perancang, pencipta, pelukis, pemandu dll.
d.    Kecerdasan kinestetik
Kemampuan menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan. Contohnya menjadi atlet, penari, ahli bedah dll.
e.    Kecerdasan musikal
Kemampuan menangani berbagai bentuk musik dengan cara mempersepsi, mempedakan, mengubah dan mengekspresikan. Contohnya menjadi komposer, musisi, penyanyi dll.



f.     Kecerdasan interpersonal
Kemampuan memersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi serta perasaan orang lain. Contohnya menjadi public relation, negosiator, pekerja sosial dll.
g.    Kecerdasan intrapersonal
Kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Contohnya menjadi filosuf, psikolog dll.
h.    Kecerdasan naturalis dan
Keahlian mengenali dan mengategorikan spesies flora fauna di lingkungan sekitar. Contohnya menjadi ahli biologi, dokter hewan, ilmuwan dll.
i.      Kecardasan eksistensial-spiritual.
Kecerdasan yang menempatkan tindakan dan kehidupan manusia dalam konteks makna yang lebih luas yakni kemampuan untuk mengakses jalan kehidupan yang bermakna. Contohnya menjadi Bhikkhu, pemuka agama, paranormal dll.

2.2.        Implementasi Teori Belajar dan Pembelajaran dalam Konteks Pendidikan Agama Buddha di Sekolah.
Pendidikan Agama adalah salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari di sekolah formal yang bertujuan agar membuat peserta didik selain berkembang ilmu pengetahuannya sekaligus berkembang pula spiritualnya. Konsep pendidikan dalam Agama Buddha meliputi tiga tahap, ketiga tahapan tersebut yaitu:
a.    Pariyatti
Pariyatti adalah proses belajar siswa yang menghasilkan pengertian
b.    Patipati
Patipati adalah praktek yang dilakukan setelah siswa memperoleh pengertian dari belajar
c.    Pativedha
Pativedha adalah tujuan atau hasil akhir yang dicapai setelah siswa memiliki pengertian dan melaksanakan praktek dari ajaran itu sendiri.
Berdasarkan konsep tersebut pendidikan Agama Buddha terselenggara, dan dalam konteks pendidikan formal Agama Buddha di Indonesia ada beberapa ruang lingkup yang menjadi pokok pembelajaran yaitu:
a.    Sejarah
b.    Keyakinan (Saddha)
c.    Perilaku /Moralitas (Sila)
d.    Kitab Suci Agama Buddha (Tipitaka)
e.    Meditasi (Samadhi)
f.     Kebijaksanaan (Panna)
Kemudian dari beberapa teori belajar dan pembelajaran di atas dapat disintesiskan dengan ruang lingkup pendidikan Agama Buddha yang dipelajari di sekolah formal sehingga diharapkan menghasilkan terobosan atau inovasi terhadap proses pembelajaran Agama Buddha di sekolah.
Teori
Lingkup
Behavioristik
Kognitivistik
Konstruktivistik
Multiple Integence
Sejarah

Saddha
Sila
Tipitaka
Samadhi
Panna


Dengan demikian kesimpulan sementara dari hasil sintesis diatas, bahwa dari ruang lingkup pendidikan formal Agama Buddha di sekolah dengan kesesuaian penggunaan teori belajar dan pembelajaran hampir berbanding rata dan yang terbanyak memiliki kesesuaian yaitu Kognitivistik dan Konstruktivistik.


BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

3.1.        Simpulan
Dari pembahasan materi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori-teori belajar dan pembelajaran dapat diiplementasikan dengan pendidikan formal agama Buddha di sekolah dan sangat memiliki peranan penting baik dalam proses pembelajaran maupun hasil pembelajaran.
3.2.        Saran
Dengan hasil yang telah dianalisis di atas, maka penulis merasa perlu untuk memberikan saran agar dapat menjadi bahan pertimbangan terhadap konteks pendidikan formal Agama Buddha di sekolah sebagai berikut:
1.    Perlu dikembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran lainnya dengan pendidikan Agama Buddha di sekolah.
2.    Adanya penambahan jumlah sumber daya guru agar dapat masuk hingga ke pelosok-pelosok dengan dedikasi dan semangat juang yang tinggi untuk pengabdian.
3.    Dengan adanya penambahan sumber daya, maka pemerintah terkait harus sesering mungkin mengadakan acara pelatihan untuk memperbaharui dan menambah ilmu dan kemampuan guru.
DAFTAR PUSTAKA
Rohman, Arif & Mohamad Lamsuri. 2009. Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Laksbang Mediatama
Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali
http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/20/belajar-dan-pembelajaran-320386. tanggal akses 22 februari 2013.