BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Belajar
sebagai karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain,
merupakan aktivitas yang selalu dilakukan sepanjang hayat manusia, bahkan tiada
hari tanpa belajar. Belajar merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk
mendapatkan perubahan dalam dirinya melalui pelatihan-pelatihan atau
pengalaman-pengalaman. Salah satu ciri dari aktivitas belajar menurut para ahli
pendidikan dan psikologi adalah adanya perubahan tingkah laku. Perubahan
tingkah laku itu biasanya berupa penguasaan terhadap ilmu pengetahuan yang baru
dipelajarinya, atau penguasaan terhadap keterampilan dan perubahan yang berupa
sikap. Untuk mendapatkan perubahan tingkah laku tersebut, maka diperlukan
tenaga pengajar yang memadai. Pengajar atau disebut juga dengan pendidik sangat
berperan penting dalam proses pembelajaran. Pendidik yang baik akan mampu
membawa peserta didiknya menjadi lebih baik.
Dalam konteks
pendidikan formal Agama Buddha, pembelajaran dapat diartikan juga sebagai suatu
hal yang dilatih untuk menghasilkan
kabiasaan-kebiasaan baik yang dilakukan oleh peserta didik yang sesuai dengan
ajaran Agama Buddha.
1.2.
Kendala-kendala
Berbicara
tentang belajar dan pembelajaran Agama Buddha tidak terlepas dari
kendala-kendala yang ada, di sini penulis mengklasifikasikan beberapa kendala
yang terjadi pada pembelajaran pada pendidikan formal Agama Buddha di Indonesia
sebagai berikut:
a.
Jumlah minoritas.
b.
Keterbatasan sumber daya .
c.
Jangkauan hingga ke pelosok.
d.
Kesadaran untuk mempelajari pendidikan Agama Buddha.
1.3.
Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan paper ini adalah tugas mata kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran
yang diampu oleh tim dosen Drs. Dasikin, M.Pd dan Edi Ramawijaya, M.Pd. dan
tujuan penulisan yang kedua adalah untuk mengetahui seberapa efektif implementasi
teori belajar dan pembelajaran dalam konteks pendidikan Agama Buddha.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Teori Belajar dan
Pembelajaran
Belajar
merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka
belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau
tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa
mempelajari sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari
oleh siswa berupa keadan alam, benda-benda atau hal-hal yang dijadikan bahan
belajar. Tindakan belajar dari suatu hal tersebut nampak sebagai perilaku
belajar yang nampak dari luar.
Ada
tiga kategori utama atau kerangka filosofis mengenai teori-teori belajar, yaitu: teori belajar behaviorisme, teori belajar kognitivisme, dan teori belajar
konstruktivisme. Teori belajar behaviorisme hanya berfokus
pada aspek objektif diamati pembelajaran. Teori kognitif melihat melampaui perilaku
untuk menjelaskan pembelajaran berbasis otak.
Dan pandangan konstruktivisme belajar sebagai sebuah proses di mana pelajar
aktif membangun atau membangun ide-ide baru atau konsep.
Dibawah
ini terdapat penjelasan dari beberapa teori belajar yang biasanya digunakan
oleh para pendidik dalam kegiatan belajar mengajar di kelas yaitu;
1.
Teori Behavioristik
Teori belajar
behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman Teori ini lalu
berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar.
Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang
belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin,
2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan
perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah
input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa
saja yang diberikan guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang
terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus
dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa
yang diterima oleh pelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain
yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan
(negative reinforcement) maka respon juga semakin melemah .
Teori belajar behavioristik menjelaskan
belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai
secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang
menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum
mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang
internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons
adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar
berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R
(stimulus-Respon).
2.
Teori Kognitif
Pengertian belajar menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan
pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati
dan dapat diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif
yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi
pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah
dimiliki seseorang.
Dalam kegiatan pembelajaran, keterlibatan siswa secara aktif amat
dipentingkan. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu
mengkaitkan pengetahuan baru dengan steruktur kognitif yag telah dimilii siswa.
Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari
sederhan ke kompleks. Perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan,
karena faktor ini sangat mepengaruhi keberhasilan siswa.
3.
Teori Konstruktivistik
Usaha mengembangkan manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan, mandiri,
bertanggung jawab, dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta mampu
berkolaborasi dalam memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang
mampu melihat kaitan antara ciri-ciri manusia tersebut, dengan
praktek-praktek pendidikan dan pembelajaran untuk mewujudkannya. Pandangan
konstruktivistik yang mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian
makna oleh siswa kepada pengalamnnya melalui asimilasi dan akomodasi yang
menuju pada pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah kepada
tujuan tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan
kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri siswa.
Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu
kunstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya.
Guru-guru konstrutivistik yang mengakui dan menghargai dorongan dari manusia
atau siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, kegiatan
pembelajaran yang dilakukannya akan diarahkan agar terjadi aktifitas konstruksi
pengetahuan oleh siswa secara optimal.
4. Teori Kecerdasan Majemuk
Menurut Howard Gardner
yang telah menemukan teori kecerdasan majemuk atau Multiple Intelligences,
bahwa ada banyak kecerdasan yang dimiliki setiap orang. Teori ini juga menekankan pentingnya “model” atau teladan yang
sudah berhasil mengembangkan salah satu kecerdasan hingga puncak. Kecerdasan
seseorang meliputi unsur-unsur kecerdasan yaitu:
a.
Kecerdasan
bahasa
Kemampuan menggunakan bahasa baik lisan maupun tulisan.
Contohnya menjadi pembaca berita, wartawan, pendongeng, pembicara dll.
b.
Kecerdasan
matematika logika
Kemampuan
mengolah angka dan menggunakan logika atau akal sehat dengan baik. Contohnya
menjadi pengolah data, ahli matematika, peneliti, programmer dll.
c.
Kecerdasan
visual spasial
Kemampuan
mempersepsi dunia visual-spasial secara akurat. Contohnya menjadi perancang,
pencipta, pelukis, pemandu dll.
d.
Kecerdasan
kinestetik
Kemampuan
menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan. Contohnya
menjadi atlet, penari, ahli bedah dll.
e.
Kecerdasan
musikal
Kemampuan menangani berbagai bentuk musik dengan cara
mempersepsi, mempedakan, mengubah dan mengekspresikan. Contohnya menjadi
komposer, musisi, penyanyi dll.
f.
Kecerdasan
interpersonal
Kemampuan memersepsi dan membedakan suasana hati, maksud,
motivasi serta perasaan orang lain. Contohnya menjadi public relation,
negosiator, pekerja sosial dll.
g.
Kecerdasan
intrapersonal
Kemampuan memahami
diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Contohnya menjadi
filosuf, psikolog dll.
h.
Kecerdasan
naturalis dan
Keahlian mengenali dan mengategorikan spesies flora fauna
di lingkungan sekitar. Contohnya menjadi ahli biologi, dokter hewan, ilmuwan
dll.
i.
Kecardasan
eksistensial-spiritual.
Kecerdasan
yang menempatkan tindakan dan kehidupan manusia dalam konteks makna yang lebih
luas yakni kemampuan untuk mengakses jalan kehidupan yang bermakna. Contohnya
menjadi Bhikkhu, pemuka agama, paranormal dll.
2.2.
Implementasi
Teori Belajar dan Pembelajaran dalam Konteks Pendidikan Agama Buddha di
Sekolah.
Pendidikan
Agama adalah salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari di sekolah formal
yang bertujuan agar membuat peserta didik selain berkembang ilmu pengetahuannya
sekaligus berkembang pula spiritualnya. Konsep pendidikan dalam Agama Buddha
meliputi tiga tahap, ketiga tahapan tersebut yaitu:
a. Pariyatti
Pariyatti adalah proses belajar siswa yang menghasilkan
pengertian
b. Patipati
Patipati adalah praktek yang dilakukan setelah siswa
memperoleh pengertian dari belajar
c. Pativedha
Pativedha adalah tujuan atau hasil akhir yang dicapai
setelah siswa memiliki pengertian dan melaksanakan praktek dari ajaran itu
sendiri.
Berdasarkan konsep tersebut pendidikan Agama Buddha terselenggara, dan
dalam konteks pendidikan formal Agama Buddha di Indonesia ada beberapa ruang
lingkup yang menjadi pokok pembelajaran yaitu:
a. Sejarah
b. Keyakinan (Saddha)
c. Perilaku /Moralitas (Sila)
d. Kitab Suci Agama Buddha (Tipitaka)
e. Meditasi (Samadhi)
f. Kebijaksanaan (Panna)
Kemudian dari beberapa teori belajar dan pembelajaran di atas dapat disintesiskan dengan ruang
lingkup pendidikan Agama Buddha yang dipelajari di sekolah formal sehingga diharapkan
menghasilkan terobosan atau inovasi terhadap proses pembelajaran Agama Buddha
di sekolah.
Teori
Lingkup
|
Behavioristik
|
Kognitivistik
|
Konstruktivistik
|
Multiple
Integence
|
Sejarah
|
√
|
√
|
√
|
|
Saddha
|
√
|
√
|
√
|
√
|
Sila
|
√
|
√
|
√
|
√
|
Tipitaka
|
√
|
√
|
√
|
√
|
Samadhi
|
√
|
√
|
√
|
√
|
Panna
|
√
|
√
|
√
|
Dengan demikian kesimpulan sementara dari hasil
sintesis diatas, bahwa dari ruang lingkup pendidikan formal Agama Buddha di
sekolah dengan kesesuaian penggunaan teori belajar dan pembelajaran hampir
berbanding rata dan yang terbanyak memiliki kesesuaian yaitu Kognitivistik dan Konstruktivistik.
BAB
III
SIMPULAN DAN
SARAN
3.1.
Simpulan
Dari
pembahasan materi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori-teori belajar dan
pembelajaran dapat diiplementasikan dengan pendidikan formal agama Buddha di
sekolah dan sangat memiliki peranan penting baik dalam proses pembelajaran
maupun hasil pembelajaran.
3.2.
Saran
Dengan hasil yang telah dianalisis di atas, maka penulis merasa perlu untuk
memberikan saran agar dapat menjadi bahan pertimbangan terhadap konteks
pendidikan formal Agama Buddha di sekolah sebagai berikut:
1.
Perlu dikembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran
lainnya dengan pendidikan Agama Buddha di sekolah.
2.
Adanya penambahan jumlah sumber daya guru agar dapat
masuk hingga ke pelosok-pelosok dengan dedikasi dan semangat juang yang tinggi
untuk pengabdian.
3.
Dengan adanya penambahan sumber daya, maka pemerintah
terkait harus sesering mungkin mengadakan acara pelatihan untuk memperbaharui
dan menambah ilmu dan kemampuan guru.
DAFTAR PUSTAKA
Rohman, Arif & Mohamad Lamsuri. 2009. Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan.
Yogyakarta: Laksbang Mediatama
Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan
Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali
http://belajarpsikologi.com/macam-macam-teori-belajar.
tanggal akses 20 februari 2013.
http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/20/belajar-dan-pembelajaran-320386.
tanggal akses 22 februari 2013.