BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia
yang berpikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini, manusia sebagai mahluk
yang memiliki suatu bentuk akal pada diri yang tidak dimiliki mahluk yang lain dalam
kehidupannya, dengan demikian untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu
pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran. Berdasarkan undang-undang
Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam konteks
pendidikan formal Agama Buddha, pendidikan dapat diartikan juga sebagai suatu
hal yang dilatih untuk menghasilkan kebiasaan-kebiasaan
baik yang dilakukan oleh peserta didik yang sesuai dengan ajaran Agama Buddha.
Dengan melaksanakan pendidikan sudah pasti memiliki tujuan, baik itu tujuan
dalam menjalankan hidup maupun tujuan dari Pendidikan Agama Buddha itu sendiri.
1.2.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka terdapat rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana hakikat dan dasar Pendidikan Agama Buddha?
2.
Apakah tujuan hidup dan tujuan Pendidikan Agama Buddha?
1.3.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai tugas mata kuliah Filsafat
Pendidikan Agama Buddha yang diampu oleh tim dosen Kustiani, S.Ag., M.A., Ph.D dan
Sukiman, S.Ag., M.Pd.B. dan tujuan lainnya dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Menjelaskan hakikat dan dasar Pendidikan Agama Buddha.
2.
Menjelaskan tujuan hidup dan tujuan Pendidikan Agama
Buddha.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Hakikat dan Dasar
Pendidikan Agama Buddha
Pendidikan
mempunyai arti proses pengubahan sikap atau tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dalam arti singkat adalah proses atau cara dalam mendidik. Sedangkan kata
“buddhis” menurut KBBI artinya penganut buddhisme (ajaran Buddha Gautama). Jadi
pendidikan buddhis dapat diartikan sebagai suatu proses atau cara mendidik yang
berlandaskan pemahaman terhadap ajaran Buddha. Selanjutnya, dalam tulisan ini
pengertian pendidikan buddhis mengacu pada arti tersebut.
Pendidikan
Agama adalah salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari di sekolah formal
yang bertujuan agar membuat peserta didik selain berkembang ilmu pengetahuannya
sekaligus berkembang pula spiritualnya. Konsep pendidikan dalam Agama Buddha
meliputi tiga tahap, ketiga tahapan tersebut yaitu:
a. Pariyatti
Pariyatti adalah proses belajar
siswa yang menghasilkan pengertian
b. Patipati
Patipati adalah praktek yang dilakukan setelah siswa
memperoleh pengertian dari belajar
c. Pativedha
Pativedha adalah tujuan atau hasil akhir yang dicapai
setelah siswa memiliki pengertian dan melaksanakan praktek dari ajaran itu
sendiri.
Belajar
merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka
belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu terjadinya atau
tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa
mempelajari sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari
oleh siswa berupa keadaan alam, benda-benda atau hal-hal yang dijadikan bahan
belajar. Tindakan belajar dari suatu hal tersebut nampak sebagai perilaku
belajar yang nampak dari luar.
2.2.
Tujuan Hidup dan
Tujuan Pendidikan Agama Buddha
2.2.1.
Tujuan Hidup
Setelah kita dapat mengerti atau memahami apa arti Buddha Dhamma, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya tadi, maka kita sudah dapat mengetahui bahwa
tujuan hidup umat Buddha adalah tercapainya suatu kebahagiaan, baik kebahagiaan
yang masih bersifat keduniawian (yang masih berkondisi) yang hanya bisa menjadi
tujuan sementara saja; maupun kebahagiaan yang sudah bersifat mengatasi
keduniaan (yang sudah tidak berkondisi) yang memang merupakan tujuan akhir, dan
merupakan sasaran utama dalam belajar Buddha Dhamma.
Banyak orang yang masih memiliki salah pengertian mengatakan bahwa Agama
Buddha (Buddha Dhamma) hanya menaruh perhatian kepada cita-cita yang luhur,
moral tinggi, dan pikiran yang mengandung filsafat tinggi saja dengan
mengabaikan kesejahteraan kehidupan duniawi dari umat manusia. Akan tetapi Sang
Buddha di dalam ajaran-Nya, juga memberikan perhatian besar terhadap
kesejahteraan kehidupan duniawi dari umat manusia, yang merupakan kebahagiaan
yang masih berkondisi. Memang, walaupun kesejahteraan kehidupan duniawi
bukanlah merupakan tujuan akhir dalam Agama Buddha, tetapi hal itu bisa juga
merupakan salah satu kondisi (sarana / syarat) untuk tercapainya tujuan yang
lebih tinggi dan luhur, yang merupakan kebahagiaan yang tidak berkondisi, yaitu
terealisasinya Nibbana.
Sang Buddha tidak pernah mengatakan bahwa kesuksesan dalam kehidupan
duniawi adalah merupakan suatu penghalang bagi tercapainya kebahagiaan akhir
yang mengatasi keduniaan. Sesungguhnya yg menghalangi perealisasian Nibbana,
bukanlah kesuksesan atau kesejahteraan kehidupan duniawi tersebut, tetapi
kehausan dan keterikatan batin kepadanya itulah, yang merupakan halangan untuk
terealisasinya Nibbana.
Di dalam Vyagghapajja sutta, seorang yang bernama Dighajanu, salah seorang
suku Koliya, datang menghadap Sang Buddha. Setelah memberi hormat, lalu ia
duduk di samping Beliau dan kemudian berkata:
“Bhante, kami adalah upasaka yang
masih menyenangi kehidupan duniawi, hidup berkeluarga, mempunyai isteri dan
anak. Kepada mereka yang seperti kami ini, Bhante, ajarkanlah suatu ajaran
(Dhamma) yang berguna untuk mendapatkan kebahagiaan duniawi dalam kehidupan
sekarang ini, dan juga kebahagiaan yang akan datang.”
Menjawab pertanyaan ini, Sang Buddha bersabda bahwa ada empat hal yang
berguna yang akan dapat menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi
sekarang ini, yaitu:
1. Utthanasampada: rajin dan bersemangat dalam
mengerjakan apa saja, harus terampil dan produktif; mengerti dengan baik dan
benar terhadap pekerjaannya, serta mampu mengelola pekerjaannya secara tuntas.
2. Arakkhasampada: ia harus pandai menjaga
penghasilannya, yang diperolehnya dengan cara halal, yang merupakan jerih
payahnya sendiri.
3. Kalyanamitta: mencari pergaulan yang baik,
memiliki sahabat yang baik, yang terpelajar, bermoral, yang dapat membantunya
ke jalan yang benar, yaitu yang jauh dari kejahatan.
4. Samajivikata: harus dapat hidup sesuai dengan
batas-batas kemampuannya. Artinya bisa menempuh cara hidup yang sesuai dan
seimbang dengan penghasilan yang diperolehnya, tidak boros, tetapi juga tidak
pelit / kikir.
Keempat hal tersebut adalah merupakan persyaratan (kondisi) yang dapat
menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi sekarang ini, sedangkan untuk
dapat mencapai dan merealisasi kebahagiaan yang akan datang, yaitu kebahagiaan
dapat terlahir di alam-alam yang menyenangkan dan kebahagiaan terbebas dari
yang berkondisi, ada empat persyaratan pula yang harus dipenuhi, yaitu sebagai
berikut:
1. Saddhasampada: harus mempunyai keyakinan,
yaitu keyakinan terhadap nilai-nilai luhur. Keyakinan ini harus berdasarkan
pengertian, sehingga dengan demikian diharapkan untuk menyelidiki, menguji dan
mempraktikkan apa yang dia yakini tersebut. Di dalam Samyutta Nikaya V, Sang
Buddha menyatakan demikian:
“Seseorang … yang memiliki pengertian, mendasarkan keyakinannya sesuai
dengan pengertian.”
Saddha (keyakinan) sangat penting untuk membantu seseorang dalam
melaksanakan ajaran dari apa yang dihayatinya; juga berdasarkan keyakinan ini,
maka tekadnya akan muncul dan berkembang. Kekuatan tekad tersebut akan
mengembangkan semangat dan usaha untuk mencapai tujuan.
2. Silasampada: harus melaksanakan latihan
kemoralan, yaitu menghindari perbuatan membunuh, mencuri, asusila, ucapan yang
tidak benar, dan menghindari makanan/minuman yang dapat menyebabkan lemahnya
kesadaran (hilangnya pengendalian diri). Sila bukan merupakan suatu peraturan
larangan, tetapi merupakan ajaran kemoralan yang bertujuan agar umat Buddha
menyadari adanya akibat baik dari hasil pelaksanaannya, dan akibat buruk bila
tidak melaksanakannya. Dengan demikian, berarti dalam hal ini, seseorang
bertanggung jawab penuh terhadap setiap perbuatannya. Pelaksanaan sila
berhubungan erat dengan melatih perbuatan melalui ucapan dan badan jasmani.
Sila ini dapat diintisarikan menjadi ‘hiri’ (malu berbuat jahat/salah) dan
‘ottappa’ (takut akan akibat
perbuatan jahat / salah). Bagi seseorang yang melaksanakan sila, berarti ia telah membuat dirinya maupun orang lain merasa aman, tentram, dan damai. Keadaan aman, tenteram dan damai merupakan kondisi yang tepat untuk membina, mengembangkan & meningkatkan kemajuan serta kesejahteraan masyarakat dalam rangka tercapainya tujuan akhir, yaitu terealisasinya Nibbana.
perbuatan jahat / salah). Bagi seseorang yang melaksanakan sila, berarti ia telah membuat dirinya maupun orang lain merasa aman, tentram, dan damai. Keadaan aman, tenteram dan damai merupakan kondisi yang tepat untuk membina, mengembangkan & meningkatkan kemajuan serta kesejahteraan masyarakat dalam rangka tercapainya tujuan akhir, yaitu terealisasinya Nibbana.
3. Cagasampada: murah hati, memiliki sifat
kedermawanan, kasih sayang, yang dinyatakan dalam bentuk menolong mahluk lain,
tanpa ada perasaan bermusuhan atau iri hati, dengan tujuan agar mahluk lain
dapat hidup tenang, damai, dan bahagia. Untuk mengembangkan caga dalam batin,
seseorang harus sering melatih mengembangkan kasih sayang dengan menyatakan
dalam batinnya (merenungkan) sebagai berikut:
“Semoga semua mahluk berbahagia,
bebas dari penderitaan, kebencian, kesakitan, dan kesukaran. Semoga mereka
dapat mempertahankan kebahagiaan mereka sendiri.”
4. Panna: harus melatih mengembangkan kebijaksanaan, yang
akan membawa ke arah terhentinya dukkha (Nibbana). Kebijaksanaan di sini
artinya dapat memahami timbul dan padamnya segala sesuatu yang berkondisi; atau
pandangan terang yang bersih dan benar terhadap segala sesuatu yang berkondisi,
yang membawa ke arah terhentinya penderitaan. Panna muncul bukan hanya didasarkan
pada teori, tetapi yang paling penting adalah dari pengalaman dan penghayatan
ajaran Buddha. Panna berkaitan erat dengan apa yang harus dilakukan dan apa
yang tidak perlu dilakukan. Singkatnya ia mengetahui dan mengerti tentang:
masalah yang dihadapi, timbulnya penyebab masalah itu, masalah itu dapat
dipadamkan / diatasi dan cara atau metode untuk memadamkan penyebab masalah
itu. Itulah uraian dari Vyagghapajja sutta yang ada hubungannya dengan
kesuksesan dalam kehidupan duniawi yang berkenaan dengan tujuan hidup umat
Buddha.
Sutta lain yang juga membahas tentang kesuksesan dalam kehidupan duniawi
ini, bisa kita lihat pula dalam Anguttara Nikaya II 65, di mana Sang Buddha
menyatakan beberapa keinginan yang wajar dari manusia biasa (yang hidup berumah
tangga), yaitu:
1.
Semoga saya menjadi kaya, dan
kekayaan itu terkumpul dengan cara yang benar dan pantas.
2.
Semoga saya beserta keluarga dan
kawan-kawan, dapat mencapai kedudukan sosial yang tinggi.
3.
Semoga saya selalu berhati-hati
di dalam kehidupan ini, sehingga saya dapat berusia panjang.
4.
Apabila kehidupan dalam dunia ini
telah berakhir, semoga saya dapat terlahirkan kembali di alam kebahagiaan
(surga).
Keempat keinginan wajar ini, merupakan tujuan hidup
manusia yang masih diliputi oleh kehidupan duniawi; dan bagaimana caranya agar
keinginan-keinginan ini dapat dicapai, penjelasannya adalah sama dengan uraian
yang dijelaskan di dalam Vyagghapajja sutta tadi.
Jadi, jelaslah sekarang bahwa Sang Buddha di dalam
ajaran Beliau, sama sekali tidak menentang terhadap kemajuan atau
kesuksesan dalam kehidupan duniawi. Dari semua uraian di atas tadi, bisa kita
ketahui bahwa Sang Buddha juga memperhatikan kesejahteraan dalam kehidupan
duniawi; tetapi memang, Beliau tidak memandang kemajuan duniawi sebagai sesuatu
yang benar, kalau hal tersebut hanya didasarkan pada kemajuan materi semata,
dengan mengabaikan dasar-dasar moral dan spiritual;
Sebab seperti yang dijelaskan tadi, yaitu bahwa
tujuan hidup umat Buddha, bukan hanya mencapai kebahagiaan di dalam kehidupan
duniawi (kebahagiaan yang masih berkondisi saja), tetapi juga bisa merealisasi
kebahagiaan yang tidak berkondisi, yaitu terbebas total dari dukkha,
terealisasinya Nibbana. Maka meskipun menganjurkan kemajuan material dalam
rangka kesejahteraan dalam kehidupan duniawi, Sang Buddha juga selalu
menekankan pentingnya perkembangan watak, moral, dan spiritual, untuk
menghasilkan suatu masyarakat yang bahagia, aman, dan sejahtera secara lahir
maupun batin; dalam rangka tercapainya tujuan akhir, yaitu terbebas dari dukkha
atau terealisasinya Nibbana
2.2.2.
Tujuan pendidikan
Agama Buddha
Tujuan umum
pendidikan tidak berbeda dengan tujuan pembabaran agama sebagaimana diamanatkan
Buddha kepada 60 arahat, dengan mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi
kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan orang banyak
(Mukti, 2003 : 305). Pendidikan Agama Buddha berfungsi menanamkan nilai-nilai
moral spiritual kepada peserta didik yang beragama Buddha, dengan tujuan
menghentikan kejahatan dan menolong terbebasnya dari penderitaan. Penanaman
nilai-nilai moral yang berdasarkan ajaran Buddha di sekolah ini, diharapkan
memberikan pengetahuan tentang agama Buddha sehingga membentuk perilaku peserta
didik yang tidak hanya cerdas namun juga bermoral (sila), dan
berkeyakinan (saddha) terhadap Tiratana dan Tuhan Yang Maha Esa. Input
dan output dari pendidikan Agama Buddha diharapkan dapat mendukung
tercapainya tujuan, visi, dan misi pendidikan Nasional.
Visi pendidikan
nasional yaitu terwujudnya individu manusia baru yang memiliki sikap dan
wawasan keimanan dan akhlak tinggi, kemnerdekaan, dan demokrasi, toleransi, dan
menjunjung hak asasi manusia, saling pengertian dan wawasan global. Misi
pendidikan nasional yaitu menuju masyarakat madani. Tujuan pendidikan nasional
dalam Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yaitu :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Belajar tidak hanya untuk mengetahui
dan mengingat, tetapi juga melaksanakan dan mencapai penembusan. Meskipun
seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai dengan ajaran,
orang yang lengah itu sama seperti gembala yang menghitung sapi milik orang
lain, ia tidak akan memperoleh manfaat kehidupan suci. (Dhp.19). Pengetahuan
saja tidak akan membuat orang terbebas dari penderitaan, tetapi ia juga harus
melaksanakannya (Sn.789).
Tujuan umum pendidikan tak berbeda
dengan tujuan pembabaran agama sebagaimana yang diamanatkan oleh Buddha kepada
enam puluh orang arahat. Mereka mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi
kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan bagi orang banyak
(Vin.I,21). Karena mendatangkan kebaikan ini, memiliki pengetahuan dan
ketrampilan merupakan berkah utama (Sn II, 4).
Pendidikan agama jelas menolong untuk menghentikan
segala bentuk kejahatan. “Aku telah berhenti. Engkau pun berhentilah,”
seru Buddha kepada Angulimala (M. II.
99). ”Melihat kejahatan sebagai kejahatan, inilah ajaran Dharma yang
pertama. Setelah melihat kejahatan sebagai kejahatan, jauhilah itu,
singkirkan itu hingga bersih, bebaskan diri dari hal itu, inilah ajaran Dharma
yang kedua” (It. 33).
Idealnya, pendidikan adalah prinsip sarana bagi
pertumbuhan manusia, penting untuk tranformasi kematangan peserta didik menjadi
orang dewasa yang bertanggung jawab.
Pendidikan Agama Buddha terselenggara, dan dalam konteks pendidikan formal
Agama Buddha di Indonesia ada beberapa ruang lingkup yang menjadi pokok
pembelajaran yaitu:
a. Sejarah
b. Keyakinan (Saddha)
c. Perilaku /Moralitas (Sila)
d. Kitab Suci Agama Buddha (Tipitaka)
e. Meditasi (Samadhi)
f. Kebijaksanaan (Panna)
BAB III
SIMPULAN
3.1.
Simpulan
Dari pembahasan
materi di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan hidup dalam agama Buddha adalah
menekankan pentingnya perkembangan watak, moral, dan spiritual, untuk
menghasilkan suatu masyarakat yang bahagia, tentram, dan sejahtera secara lahir
maupun batin dengan melaksanakan jalan mulia berunsur delapan; dalam rangka
tercapainya tujuan akhir, yaitu terbebas dari dukkha atau terealisasinya Nibbana
Sedangkan Konsep pendidikan dalam Agama Buddha
meliputi tiga tahap yaitu pariyatti, patipati, dan pativedha. Pendidikan Agama Buddha berfungsi
menanamkan nilai-nilai moral spiritual kepada peserta didik yang beragama
Buddha, dengan tujuan menghentikan kejahatan dan menolong terbebasnya dari
penderitaan. Penanaman nilai-nilai moral yang berdasarkan ajaran Buddha di
sekolah ini, diharapkan memberikan pengetahuan tentang agama Buddha sehingga
membentuk perilaku peserta didik yang tidak hanya cerdas namun juga bermoral (sila),
dan berkeyakinan (saddha) terhadap Tiratana dan Tuhan Yang Maha
Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Anguttara-nikaya-The Book of Gradual Sayings.
Diterjemahkan oleh F.L.Woodward dan E.M. Hare. London: PTS, 1978
http://surganimmanarati.blogspot.com/2013/01/nilai-pendidikan-agama-buddha-mahathera.html
Itivuttaka, The Minor Anthologies of the Pali
Canon.Diterjemahkan oleh F.L. Woodward.London: Oxford University Press, 1948.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Edisi Keempat. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Mukti, Krishnanda Wijaya. 2003. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan &
Ekayana Buddhist Centre.
Samyutta Nikaya-The Book of the Kindred Sayings.
Diterjemahkan oleh C. A. F. Rhys Davids dan F.L.Woodward.London:PTS, 1982.
Sutta-Nipata. Diterjemahkan oleh Lanny Anggawati dan Wena
Cintiawati. Klaten: Wihara Bodhivamsa, 1999.
Undang-undang Sisdiknas No.20
tahun 2003